Monthly Archives: Februari 2011

Gravitasi telah menjamin terciptanya alam semesta

Sore ini pas main ke lab elka ada yang istimewa. Bukan makanan gratis ato cewek cantik. Tapi sebuah artikel langka yang ditulis oleh dosen UPH Karawaci di majalah CampusAsia (edisi Desember 2010 kalo gak salah). Sebuah artikel sederhana tentang penolakan Hawking terhadap dibutuhkannya teologi. Gravitasi telah menjamin terbentuknya alam semesta dengan sendirinya, karena itu teologi tak lagi dibutuhkan oleh manusia.

Si penulis, yang pakar Fisika Teori dan Kosmologi,  menjelaskan bahwa supposition itu tak berimplikasi bahwa kita tak butuh teologi, namun, seandainya logika ini benar, kita tetap membutuhkan teologi  yaitu teologi tanpa tuhan. Faktanya sains dan teologi tak berada pada ranah yang sama, sehingga memperoleh kesimpulan sains yang berimplikasi pada teologi bisa jadi berharap memetik pisang dari pohon apel.

Artikel ini sangat sederhana, saya suka yang seperti ini. Mungkin pemahaman terhadap keterangan Hawking bahwa gravitasi adalah awalmula dari segalanya adalah sebuah kotak hitam dalam block diagram system pembentukan alam semesta. Karena tentu sulit dibayangkan jika yang ada hanya gravitasi, sementara dalam ruang tersebut, jika saat itu ruang sudah terbentuk, tak ada massa yang dalam fisika dasar justru menjadi penyebab timbulnya gravitasi. Tapi yang jelas output dari system inferensi ‘jika-maka’ antara “gravitasi telah menjamin terbentuknya semesta dengan sendirinya” dan “teologi tak lagi diperlukan” menjadi sangat tak logis jika kita berpandangan bahwa sains dan teologi memang berada pada ranah pembahasan yang berbeda.

Saya merasa begitu ber-peradaban maju saat mengetahui berbagai fakta ilmiah yang mendukung keputusan saya untuk beragama; saya anggap keputusan untuk berTuhan adalah hal yang paling tepat bagi manusia yang berperadaban maju. Namun seringkali bingung mencari jawaban saat banyak serangan dari fakta sains yang bertolak belakang dengan kepercayaan terhadap tuhan. Meski kalau kita cermati memang sains dan teologi berada pada ranah yang berbeda.

Beragama dengan cara seperti ini sangat naïf. Memang. Seharusnya kita tetap ingat bahwa sains dan teologi sangat berbeda. Beragama tak selalu harus logis. Dan mungkin karena keasyikan kita dalam menelaah pemikiran-pemikiran kritis seperti ini justru sebagian dari kita lupa untuk pergi ke masjid atau ke gereja. Kadang kita sudah puas bahwa kita mampu membenarkan keputusan kita untuk beragama.

Seperti halnya sosok Sherlock Holmes yang begitu menikmati seni berpikir deduksi; hingga tak pernah bersedih atau prihatin terhadap berbagai pembunuhan kejih yang terjadi di sekitarnya. Kadang saya lupa bahwa inti dari ajaran sebuah agama adalah keselamatan di dunia dan yang lebih penting di ahirat nanti, karena membaca berbagai logika penalaran dari fakta dan teori kosmologi dalam menjawab pertanyaan teologi sangat menarik. Namun, pada kenyataannya kepercayaan pada Tuhan Yang Esa seringkali sudah cukup tanpa harus dibarengi konsekuensi bahwa kita harus melakukan berbagai perintahNya dan menjauhi laranganNya. Ah, ini menggelikan, mengapa Holmes tak pernah turut bersedih atas berbagai pembunuhan kejih di sekitarnya…?